Author : UnknownTidak ada komentar
Risiko Melahirkan Caesar Bagi Ibu dan Si Jabang Bayi
Melahirkan memang menyakitkan, oleh karena itu banyak perempuan yang memilih untuk menjalani operasi Caesar untuk melahirkan bayinya. Selain itu, bedah Caesar juga menjadi pilihan karena dianggap lebih mudah dan aman untuk melahirkan, dan si ibu pun bisa memilih tanggal kelahiran sesuai keinginannya.
Di Amerika, hampir 32 persen dari seluruh pr
oses kelahiran bayi dilakukan melalui bedah Caesar, termasuk untuk kehamilan dengan risiko rendah. Oleh karena itu, para dokter menyatakan perlunya mengubah anggapan para ibu hamil mengenai kemudahan yang ditawarkan bedah Caesar.
"Untuk para ibu yang tidak memiliki kondisi (kehamilan) berisiko, Caesar justru sebenarnya kurang aman bagi ibu dan bayinya daripada persalinan normal," tutur Eugene Declercq, PhD, asisten dekan untuk pendidikan doktoral di Boston University School of Public Health.
Memang, bedah Caesar saat ini lebih aman ketimbang puluhan tahun lalu. Bagaimana pun juga, teknik kedokteran sudah semakin berkembang, dan obat-obatan antibiotik sudah semakin mampu melindungi infeksi yang mungkin bisa ditimbulkan pasca persalinan. Selain itu, Anda hanya perlu menjalani bius lokal untuk persiapan operasi.
Meski begitu, dibandingkan persalinan normal, perempuan yang melahirkan melalui operasi Caesar punya kemungkinan 2,3 kali masuk rumah sakit lagi dalam 30 hari. Hal ini terjadi pada 19,2 dari 1.000 perempuan yang menjalani Caesar, ketimbang mereka yang melahirkan normal (7,5 orang). Jika ini bedah Caesar Anda yang kedua, atau jika bayi dilahirkan sebelum usia 39 minggu (terjadi pada sekitar sepertiga kelahiran Caesar yang terjadwal), kemungkinan bayi masuk ke ICU jadi berlipat.
Pada kedua kondisi tersebut, bayi umumnya akan mengalami masalah pernafasan. Mereka juga memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk mengidap asma semasa kanak-kanak. Hal ini lebih jarang dialami bayi yang lahir normal.
"Didorong melalui saluran kelahiran akan memeras cairan dari paru-paru mereka, sehingga bayi yang lahir normal cenderung lebih jarang mengalami masalah pernafasan," ungkap Bonnie Wise, MD, dokter spesialis kandungan dan kebidanan dari Northwestern University Feinberg School of Medicine di Chicago.
Sementara itu, ibu yang mengalami persalinan Caesar berulang juga menghadapi risiko yang serius. Jaringan parut dari operasi Caesar sebelumnya bisa menimbulkan risiko lebih tinggi terjadinya placenta previa (jalan lahir tertutup plasenta) dan placenta accreta (plasenta tertanam cukup dalam pada dinding rahim). Kondisi ini bisa memicu perdarahan pada sang ibu, entah selama persalinan atau sesudah melahirkan.
Tentu saja, ada beberapa kondisi tertentu di mana sang ibu memang harus melahirkan secara Caesar. Sebab, pada awalnya Caesar memang dilakukan untuk menyelamatkan nyawa ibu dan bayinya. Misalnya, posisi bayi sungsang, placenta previa, bayi terlalu besar, atau kehamilan kembar. Penyebab mutlak lainnya adalah panggul ibu yang sempit sehingga menyulitkan proses persalinan.
Sehabis melahirkan pun kondisi ibu juga tidak nyaman. Selain harus memakai kateter, perut kembung luar biasa, dan kemungkinan mengalami infeksi juga meningkat. Itu sebabnya perempuan yang menjalani bedah Caesar harus tinggal lebih lama di rumah sakit.
"Untuk para ibu yang tidak memiliki kondisi (kehamilan) berisiko, Caesar justru sebenarnya kurang aman bagi ibu dan bayinya daripada persalinan normal," tutur Eugene Declercq, PhD, asisten dekan untuk pendidikan doktoral di Boston University School of Public Health.
Memang, bedah Caesar saat ini lebih aman ketimbang puluhan tahun lalu. Bagaimana pun juga, teknik kedokteran sudah semakin berkembang, dan obat-obatan antibiotik sudah semakin mampu melindungi infeksi yang mungkin bisa ditimbulkan pasca persalinan. Selain itu, Anda hanya perlu menjalani bius lokal untuk persiapan operasi.
Meski begitu, dibandingkan persalinan normal, perempuan yang melahirkan melalui operasi Caesar punya kemungkinan 2,3 kali masuk rumah sakit lagi dalam 30 hari. Hal ini terjadi pada 19,2 dari 1.000 perempuan yang menjalani Caesar, ketimbang mereka yang melahirkan normal (7,5 orang). Jika ini bedah Caesar Anda yang kedua, atau jika bayi dilahirkan sebelum usia 39 minggu (terjadi pada sekitar sepertiga kelahiran Caesar yang terjadwal), kemungkinan bayi masuk ke ICU jadi berlipat.
Pada kedua kondisi tersebut, bayi umumnya akan mengalami masalah pernafasan. Mereka juga memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk mengidap asma semasa kanak-kanak. Hal ini lebih jarang dialami bayi yang lahir normal.
"Didorong melalui saluran kelahiran akan memeras cairan dari paru-paru mereka, sehingga bayi yang lahir normal cenderung lebih jarang mengalami masalah pernafasan," ungkap Bonnie Wise, MD, dokter spesialis kandungan dan kebidanan dari Northwestern University Feinberg School of Medicine di Chicago.
Sementara itu, ibu yang mengalami persalinan Caesar berulang juga menghadapi risiko yang serius. Jaringan parut dari operasi Caesar sebelumnya bisa menimbulkan risiko lebih tinggi terjadinya placenta previa (jalan lahir tertutup plasenta) dan placenta accreta (plasenta tertanam cukup dalam pada dinding rahim). Kondisi ini bisa memicu perdarahan pada sang ibu, entah selama persalinan atau sesudah melahirkan.
Tentu saja, ada beberapa kondisi tertentu di mana sang ibu memang harus melahirkan secara Caesar. Sebab, pada awalnya Caesar memang dilakukan untuk menyelamatkan nyawa ibu dan bayinya. Misalnya, posisi bayi sungsang, placenta previa, bayi terlalu besar, atau kehamilan kembar. Penyebab mutlak lainnya adalah panggul ibu yang sempit sehingga menyulitkan proses persalinan.
Sehabis melahirkan pun kondisi ibu juga tidak nyaman. Selain harus memakai kateter, perut kembung luar biasa, dan kemungkinan mengalami infeksi juga meningkat. Itu sebabnya perempuan yang menjalani bedah Caesar harus tinggal lebih lama di rumah sakit.
Artikel Terkait
Posted On : Sabtu, 10 November 2012Time : 17.46